CHAPEL OF DISEASE ‘Echoes of Light’ ALBUM REVIEW
Van Records. February 9th, 2024
Progressive metal
Setelah hampir enam tahun menghilang dari peredaran, band “death metal” asal Cologne, Jerman, CHAPEL OF DISEASE, pada awal tahun 2024 ini telah memuntahkan album penuh keempat mereka. Berawal dari sebuah band old school death metal yang diformasikan tahun 2008 silam, lama-kelamaan, grup yang saat ini hanya menyisakan Laurent Teubl sebagai personil orisinal ini akhirnya melenceng juga dari garis besar haluan extreme metal, sama kayak rekan seangkatan dan seperjuangan mereka di utara sana, diawali dengan LP kedua, ‘The Mysterious Ways of Repetitive Art’, yang sudah mulai sedikit nyeleneh, dan puncaknya album nomor tiga mereka, “…and As We Have Seen the Storm, We Have Embraced the Eye”, berisikan enam buah lagu “death metal” yang penuh bumbu-bumbu progressive rock, hard rock, hingga traditional heavy metal. Meskipun respon audiens awalnya agak lukewarm, CHAPEL OF DISEASE sepertinya udah terlanjur mantap melangkah dengan sound baru, hengkangnya gitaris ritem Cedric Teubl dan drummer David Dankert pasca kelarnya proses rekaman full length ke-4 juga tak mematahkan semangat Laurent Teubl, yang dibuktikan dengan tetap dirilis sesuai jadwalnya ‘Echoes of Light’.
Kalau ‘…and As We Have Seen the Storm, We Have Embraced the Eye’ masih cukup berasalah cita rasa death metal-nya baik dalam riffing atau gebukan drum, ‘Echoes of Light’ justru terdengar hampir tidak ada elemen death metal sama sekali diluar harsh vocal dan single “A Death Though No Loss”, seperti trek pertama sekaligus title track misalnya, secara aransemen hampir gak ada unsur extreme metal dengan riff yang nyerempet Ozzy Osbourne era Randy Rhoads hingga DIRE STRAITS, baru lah pas pertengahan menit keenam ada sentuhan post-black sampai harmonisasi melodi ala swedish melodic death metal, dimana di lagu berikutnya nuansa melodeath tersebut (“A Death Though No Loss”) diboyong lebih lengkap, jadi kayak old IN FLAMES/DARK TRANQUILLITY ketemu GRAVEYARD, karena bagian tengahnya disisipi sedikit racikan blues rock sedap. Dalam track ketiga Laurent Teubl kembali bernyanyi, tapi eksekusinya disini sudah jauh lebih baik dari album sebelumnya, “Shallow Nights” sendiri lumayan unik, karena punya vibe terdengar seperti kombinasi antara ALCEST dengan karya solo Mark Lanegan (SCREAMING TREES), namun dengan Hard rock/heavy metal twist bombastis di penghujung.
Masuk ke tiga trek terakhir, “Selenophile”, menjadi lagu paling lempeng dalam ‘Echoes Of Light’, tapi tetep aja musiknya lagi-lagi melenceng, karena tak hanya pake cowbell segala, komposisinya kok malah geser ke gothic metal macam LAKE OF TEARS dan MOONSPELL, yang memang catchy parah. Nomor berikutnya “Gold – Dust”, kurang lebih masih mengusung sound yang belum jauh berbeda, bedanya tak menggunakan death growl saja, sayangnya lagu penutup “An Ode To The Conqueror” kurang greget dan cenderung anti klimaks padahal menit-menit awal penuh pengaruh blues rock hingga psychedelic rock sangat menjanjikan, lalu ketika masuk 03:40 tiba-tiba berubah jadi blackgaze memang lumayan mindblowing, eh tapi malah sebentar doang terus kelar di menit keenam, alhasil nanggung banget, padahal kalo sedikit dipanjangin, terus harsh vocal masuk lagi sampai benar-benar crescendo eksplosif, sudah pasti album ini bakal berakhir lebih memuaskan. Menurut saya durasi 42 menit sangatlah kurang memadai untuk sebuah album progressive rock, banyak hal-hal yang saya rasa sangat nanggung, dan total enam lagu bener-bener kurang, padahal ‘Echoes of Light’ punya potensi menjadi magnum opus CHAPEL OF DISEASE, namun diluar kurang klimaks nya album ini, ‘Echoes of Light’ tetap menjadi salah satu album terbaik 2024 versi saya sejauh ini. (Peanhead)
9.3 out of 10