OPETH ‘The Last Will And Testament’ ALBUM REVIEW
Reigning Phoenix Music. 22th November, 2024
Progressive death metal
Sempat dianggap mimpi di siang bolong, akhirnya setelah enam belas tahun Mikael Åkerfeldt nge-growl lagi di album OPETH. Sebenarnya kalo yang masih rajin mantengin konser legenda progressive metal asal Swedia ini, setlist mereka masih banyak diisi lagu-lagu jaman death metal macam “Face of Melinda”, “The Grand Conjuration”, “Demon of The Fall”, “Heir Apparent”, hingga encore wajib “Deliverance”, dengan komposisi biasanya 50/50 antara oldpeth dan newpeth. Martín Méndez kembali jadi aktor penting kemunculan kembali sisi death metal OPETH di album terbaru ‘The Last Will and Testament’, kalau dulu dia orang yang member bisikan Mikael untuk membuang follow-up ‘Watershed’, yang akhirnya membuat OPETH bertransformasi jadi 70’s prog tulen di ‘Heritage’ (sampe sekarang bisa bikin fan lama bad mood), sekarang dia jugalah yang jadi pendorong OPETH balik menjadi band extreme metal kembali. Selain itu grup ini mendapat suntikan energi baru dengan masuknya drummer muda namun sangat bertalenta, Waltteri Väyrynen, yang sudah saya pantengin terus tingkah polahnya sejak bergabung di PARADISE LOST, dan menjadi faktor penting kebangkitan kembali legenda gothic metal dan death/doom tersebut di dua LP terakhir (“Medusa” dan “Obsidian”).
Keputusan OPETH untuk mempertahankan mayoritas tim produksi ‘In Cauda Venenum’ ternyata berbuah manis, karena ‘ICV’ dulu emang terdengar lebih berisi dari tiga album sebelumnya, berhasil menemukan titik temu antara progressive rock klasik namun dengan aura heavy metal yang cukup kuat, dan dengan masuknya kembali elemen death metal kedalam materi baru, sound dari album 2019 itu memang benar-benar cocok, hanya perlu otak-atik dibeberapa temat, demi mengakomodir aransemen baru yang benar-benar terdengar seperti sequel sepantasnya ‘Watershed’, tanpa mengesampingkan eksperimentasi era 2011-2019 tentunya. ‘The Last Will and Testament’ merupakan concept album pertama OPETH sejak ‘Still Life’ (1999), dan hampir semua lagunya gak punya proper title, alias hanya menggunakan nomor paragraf saja sebagai judul, “§1” langsung menjadi trek terfavorit saya dari band ini sejak ‘Watershed’, karena tak sekedar kembali kehabitatnya, lagu tersebut juga dijamin bikin nyangkut dikepala. Sayangnya lagu kedua tak begitu masuk di telinga saya, komposisinya kadang terkadang terkesan random banget, lima menit kurang banget buat eksplor, jadinya malah nganggung, selanjutnya ada “§3”, yang menjadi highlight utama album ini, lewat racikan progressive metal yang di oplos dengan traditional heavy metal, langsung berhasil menjadi percobaan lagu “cock rock” (salah satu style musik rock paling favorit sang pentolan) paling berhasil OPETH, setelah beberapa kali mencobanya dari beberapa album lalu (tengok “Slither” dan “Era”).
Dulu waktu ‘Heritage’ digarap, Mikael Åkerfeldt sempet kirim email Ian Anderson buat ngajak maenin flute di album tersebut, dan setelah sepuluh tahun lebih OPETH akhirnya berhasil mendatangkan frontman JETHRO TULL tersebut, meski niat awalnya hanya diundang sebagai pembaca narasi, namun akhirnya diberikan ruang juga buat niup flute, salah satunya dalam “§4”, tapi ya lagi-lagi lagu tersebut agak missed the mark buat ogut, untungnya baik “§5″dan “§6″nampol parah, dalam paragraf kelima OPETH memadukan ketukan drum ala raggaeton, petikan gitar dan alunan kibor ala timur tengah, dengan extreme metal progresif, yang hasilnya super memorable parah, paragraf keenam juga tak kalah sadis dengan groove berbahaya-nya, dijamin bikin die hard fans kesemsem. Sama seperti paragraf kedua dan paragraf keempat, “§7” merupakan lagu yang menitik beratkan pada narasi, alhasil kalau didengerin diluar konteks mendengarkan secara utuh satu album langsung, memang bakalan agak sulit dinikmati, tak seperti paragraf “§1”, “§3”, “§5”, dan “§6”, yang lebih self-contained dari segi musik, hanya liriknya aja bakalan kagak make sense kalau diketeng. ‘The Last Will and Testament’ ditutup dengan sebuah ballad paling syahdu yang pernah di tulis OPETH semenjak “Burden” (2008), dan langsung menjadi track terfavorit saya dari album ini. ‘The Last Will and Testament’ meski digadang-gadang sebagai salah satu album terbaik OPETH, namun secara keseluruhan masih kalah lah dari semua rilisan pre-‘Heritage’, agak kurang sreg aja sih lagu-lagunya gak punya judul yang bener, dan dari total delapan trek, hanya setengah + 1 saja yang bener-bener punya lasting impact di diskografi dan setlist OPETH, meskipun begitu setidaknya ‘Ghost Reveries’ dan ‘Watershed’ akhirnya punya penerus sepantasnya setelah 15 tahun lebih. (Peanhead)
8.5 out of 10