ALONE IN THE DARK
Sutradara: Jack Sholder
USA (1982)
Review oleh Tremor
Pada tahun 1978, sutradara horor legendaris John Carpenter merilis salah satu mahakaryanya, Halloween, yang tanpa diduga memicu gebrakan baru dalam industri film horror dan menandai dimulainya era keemasan slasher Amerika. Trend film slasher semakin tak terbendung setelah Friday the 13th (1980) karya Sean S. Cunningham menyempurnakan apa yang dimulai oleh Carpenter dan kemudian semakin memantik dirilisnya puluhan judul film slasher Amerika karena ada begitu banyak sineas horor Amerika berlomba-lomba membuat film slasher-nya sendiri. Pada tahun 1982, sub-genre slasher sedang berada pada masa kejayaannya namun berpotensi jatuh karena tidak ada hal baru dalam genre ini. Para pembuat film perlu memutar otak untuk mencari ide segar agar penonton tidak merasa jenuh dan sub-genre slasher bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Seorang editor film amatir bernama Jack Sholder yang sebelumnya mengedit film slasher The Burning (1981) pun mencoba menulis dan menyutradari film slashernya sendiri dengan ide yang berbeda, berjudul Alone in the Dark. Meskipun film ini dikategorikan sebagai film slasher, namun Alone in the Dark terasa sangat berbeda dengan film slasher pada umumnya yang kita kenal hari ini. Perlu dipahami bahwa film ini lahir di era di mana banyak film slasher masih berusaha mencari jati dirinya masing-masing dan ciri-ciri generik genre slasher belum terbentuk sepenuhnya. Alone in the Dark merupakan debut penulisan dan penyutradaraan dari Jack Sholder, dan karirnya sebagai sutradara jauh lebih cemerlang dibandingkan ketika ia masih bekerja sebagai editor. Setelah membuat Alone in the Dark, Sholder dipercaya untuk menyutradarai beberapa judul horor dari mulai sekuel pertama franchise A Nightmare on Elm Street: Freddy’s Revenge (1985), The Hidden (1987), Wishmaster 2: Evil Never Dies (1999), hingga beberapa episode serial TV seperti Tales from the Crypt dan Tremors. Bukan hanya menjadi debut dari Jack Sholder, Alone in the Dark juga merupakan film horor pertama yang diproduksi oleh produser Robert Shaye di awal karirnya, sekaligus juga film horor pertama yang dirilis oleh rumah produksi miliknya yang bernama New Line Cinema, sebuah perusahaan film yang namanya meroket sejak keberhasilan komersial besar dari film A Nightmare on Elm Street (1984). Setelah Alone in the Dark, produser Robert Shaye mulai semakin sering memproduksi film-film horor, seperti Xtro (1982), Critters (1986), dan semua film dari franchise A Nightmare on Elm Street.
Seorang psikiater muda bernama Dan Potter mulai bekerja di sebuah rumah sakit jiwa yang dikelola oleh dokter Leo Bain. Rumah sakit ini memiliki fasilitas khusus di lantai tiga yang memiliki tingkat keamanan tertinggi di mana semua pintu dan jendela hanya bisa diakses melalui kendali perangkat elektronik yang canggih pada jamannya. Fasilitas khusus ini adalah tempat di mana empat pasien psikopat yang sangat berbahaya dirawat: seorang veteran perang bernama Frank Hawkes, seorang pendeta yang terobsesi dengan api bernama Byron “Preacher” Sutcliff, seorang pedophil bernama Ronald Elster, serta serial killer pemalu yang tak pernah mau memperlihatkan wajahnya bernama John “the Bleeder” Skagg. Masalahnya, Hawkes yang menderita skizofrenia paranoid yakin bahwa Dan Potter membunuh dokter mereka sebelumnya yang lebih mereka sukai. Hawkes pun memprovokasi ketiga temannya untuk membuat rencana membunuh Dan Potter saat waktu yang tepat tiba. Suatu malam jaringan listrik di seluruh kota padam karena ada insiden di pembangkit listrik tenaga nuklir terdekat. Akibat padamnya listrik, semua kunci keamanan yang mengurung keempat psikopat ini tidak berfungsi. Hawkes dan kawan-kawan tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka segera melarikan diri dari rumah sakit untuk memburu Dan Potter dan akan membunuh siapapun yang menghalangi mereka.
Sutradara / penulis Jack Sholder cukup ambisius dalam membuat film slasher yang berbeda dengan cara menyisipkan sedikit komentar sosial satir yang menarik soal kewarasan serta pertanyaan tentang batasan tipis antara yang normal dan yang tidak normal. Dalam salah satu wawancaranya, Jack Sholder mengaku bahwa ia terinspirasi oleh tulisan-tulisan seorang psikiater Inggris bernama R.D. Laing yang memiliki teori bahwa psikopat sebenarnya hanyalah orang-orang yang kesulitan beradaptasi dengan dunia yang juga psikotik. Teori tersebutlah yang Sholder tuangkan dalam film ini. Dalam film ini kita bisa melihat empat psikopat yang akhirnya berbaur dengan dunia yang tak kalah gila ketika kerusuhan dan penjarahan terjadi saat listrik di seluruh kota padam. Tak hanya Frank Hawkes dkk, kita juga bisa melihat bahwa dokter Leo Bain pun memiliki sisi-sisi tidak warasnya sendiri. Ending film ini semakin menegaskan pertanyaan Sholder tentang batasan antara normal dan tidak normal ketika kita bisa melihat salah satu psikopat justru bisa berbaur dengan baik di sebuah klub punk rock.
Lewat Alone in the Dark, Jack Sholder seakan sedang mencoba ramuan baru eksperimentalnya untuk meracik film slasher yang berbeda dan segar. Salah satu hal yang menarik adalah, Sholder menuliskan kisah dengan empat pembunuh psikopat sekaligus, di mana biasanya film slasher hanya memiliki satu pembunuh utama saja. Dari semua karakter psikopat yang ada dalam Alone in the Dark, yang paling ikonik adalah karakter The Bleeder, yang memiliki ciri khas tidak pernah mau menunjukkan wajahnya pada orang lain. Dalam salah satu adegan ketika ia dan kawan-kawan psikopatnya ikut menjarah sebuah pusat perbelanjaan untuk mengumpulkan senjata, The Bleeder mengambil topeng hoki untuk menutupi wajahnya. Melihat The Bleeder menggunakan topeng hoki tentu akan membuat penonton berpikir bahwa adegan ini merupakan penghargaan untuk karakter legendaris Jason Voorhees dari franchise Friday the 13th. Namun ini bukan penghargaan, melainkan sebuah kebetulan yang menarik karena Alone in the Dark dirilis tiga bulan setelah film Friday the 13th Part III dirilis, dan rasanya tidak akan cukup waktu bagi sutradara Jack Sholder untuk “mencuri” ide topeng hoki dari Voorhees. Perlu diketahui bahwa baru dalam Friday the 13th Part III lah Jason Voorhees mengenakan topeng hoki untuk pertama kalinya.
Salah satu hal yang sangat membedakan Alone in the Dark dari film slasher pada umumnya adalah tidak adanya adegan pembunuhan kreatif dan berlebihan yang diperlihatkan dalam film ini. Padahal, daya tarik kebanyakan film slasher ada pada special effect gore yang berlebihan serta eksplorasi cara-cara membunuh yang kreatif, dan bukan pada plotnya. Bisa jadi, ini ada kaitannya dengan anggaran produksi film yang sangat terbatas dan mungkin tidak cukup untuk membiayai penggunaan special effect gore yang pada masa itu sedang berkembang pesat dan terhitung mahal karena semua efek dikerjakan secara tradisional. Jadi, kebanyakan adegan pembunuhan dalam Alone in the Dark terjadi secara off-screen. Alone in the Dark mungkin menjadi satu-satunya film slasher yang tidak memiliki special effect gore. Hal lain yang membedakan Alone in the Dark dari film slasher pada umumnya adalah para karakter protagonisnya melakukan banyak usaha untuk melawan balik dan berhasil bertahan hidup hingga film ini selesai, ketika film slasher lain biasanya berisikan karakter-karakter kosong dan bodoh yang ada di dalam film hanya untuk dibunuh. Namun, meskipun banyak hal yang berbeda, kita tetap bisa melihat beberapa kemiripan klise film-film slasher umum dalam Alone in the Dark, seperti dibunuhnya seorang babysitter ketika sedang bercinta dengan kekasihnya, hingga penggunaan senjata yang berbeda-beda.
Kalau dilihat dari plot dasarnya, sekelompok psikopat melarikan diri dari rumah sakit jiwa dan sangat terobsesi memburu satu orang, tentu ini mengingatkan kita dengan plot dasar Halloween 1978. Menariknya, aktor veteran Donald Pleasence yang sebelumnya berperan sebagai Dr. Loomis yang mencoba menghentikan Michael Myers dalam Halloween juga ikut berperan dalam Alone in the Dark sebagai Dr. Leo Bain yang kemudian mencoba menghentikan aksi Frank Hawkes dkk. Tak hanya Donald Pleasence, film ini juga diperankan oleh beberapa aktor senior yang cukup dikenal pada masanya, seperti Jack Palance yang memerankan Frank Hawkes, serta aktor Martin Landau yang memerankan Byron “Preacher” Sutcliff dengan sangat baik lewat ekspresi wajahnya yang menunjukkan banyak kegilaan. Dilibatkannya tiga aktor kawakan ini membuat Alone in the Dark secara otomatis menjadi terasa lebih kredibel dibandingkan film-film slasher pada umumnya yang kebanyakan dibintangi oleh para aktor remaja tak dikenal. Dalam Alone in the Dark kita juga bisa melihat kameo dari adik perempuan produser Robert Shaye yang memerankan resepsionis palsu di rumah sakit jiwa. Ia adalah Lin Shaye, yang di kemudian hari menjadi salah satu ikon horor modern berkat perannya sebagai cenayang Elise Rainier dalam seluruh film franchise Insidious-nya James Wan. Kameo lain yang jauh lebih menarik dalam Alone in the Dark adalah tampilnya band punk rock berumur pendek asal New York, bernama The Sick F*cks. Dalam film ini, mereka bermain di sebuah klub punk rock membawakan salah satu hits-nya yang berjudul “Chop Up Your Mother” dengan suasana yang sangat meriah dan terasa sangat fun.
Jenis kengerian Alone in the Dark memang tidak seperti film slasher pada umumnya, tetapi lebih mirip dengan kengerian ala film-film home-invasion di mana karakter Dan Potter dan keluarganya terjebak di rumah mereka sendiri tanpa listrik, jaringan telepon yang sengaja diputus, dengan empat pembunuh gila yang meneror mereka dari luar rumah. Film ini tidak buruk, namun ending dan konfrontasi finalnya yang aneh dan terasa dipaksakan menjadi kelemahan terbesar dari Alone in the Dark. Belum lagi ada banyak ketidaklogisan termasuk pada plot twist-nya. Tapi semua kelemahan ini bisa dimaklumi karena film yang memiliki anggaran rendah ini adalah sebuah debut penulisan Jack Sholder yang ia tulis beramai-ramai bersama Robert Shaye dan Michael Harrpster. Alone in the Dark bukanlah film slasher yang spektakuler, namun tetap perlu ditonton oleh mereka yang memiliki minat khusus pada film-film horor 80-an.