MOVIE REVIEW: CHOPPING MALL (1986)

CHOPPING MALL
Sutradara: Jim Wynorski
USA (1986)

Review oleh Tremor

Chopping Mall adalah sebuah film sci-fi techno / slasher horror independen 80-an karya sutradara Jim Wynorski yang ia tulis bersama Steve Mitchell. Dilihat dari judulnya, mungkin banyak orang menduga kalau premis film ini adalah tentang pembunuh bertopeng berdarah dingin yang memburu dan membantai korbannya satu persatu seperti pada umumnya film slasher 80-an, yang kali ini mengambil lokasi di dalam mall. Sebagian besar dari dugaan itu ada benarnya. Tapi ada satu hal yang membedakan Chopping Mall dari film slasher lain pada masanya, yaitu sosok pembunuh dalam film ini adalah robot. Bukan robot humanoid yang bisa menggenggam pisau dapur, tetapi robot dengan tangan capit yang bergerak menggunakan ban layaknya tank baja dan mampu menembakan laser ala robot-robot pulp sci-fi. Dan bukan hanya satu, tetapi tiga robot sekaligus. Melihat konteks jamannya, konsep dasar Chopping Mall berakar pada pengetahuan awam yang sangat minim tentang teknologi yang berkaitan dengan komputer sebagai sebuah bentuk teknologi baru dan asing, dan tentu saja ketidaktahuan dalam bentuk apapun selalu memiliki potensi untuk diolah menjadi film horor. Sebelum film ini dirilis ke publik, Chopping Mall sebenarnya diberi judul Killbots. Judul tersebut jelas terdengar lebih representatif, tapi juga terkesan terlalu cheesy, meskipun benar bahwa film ini memang cheesy. Killbots mendapat respon yang kurang positif dalam percobaan screening audiensi pertamanya. Akhirnya judulnya diubah agar bisa lebih menarik minat para penggemar horor, sekaligus menjadi pelesetan kata yang kreatif dari “shopping mall”, konsep pusat perbelanjaan yang memang sedang berada di masa kejayaannya bagi anak muda pada awal 80-an di Amerika. Ternyata Chopping Mall tetap mendapat sambutan yang biasa saja setelah dirilis di bioskop. Namun ketika film ini diedarkan dalam format home video di rental-rental VHS yang kala itu juga sedang mulai menjamur, Chopping Mall akhirnya mendapatkan apresiasi lebih dan mulai memiliki penggemarnya sendiri hingga hari ini.

Sutradara / penulis Jim Wynorski berhasil menggabungkan genre pulp sci-fi yang sebenarnya sudah mulai kurang diminati pada saat itu, dengan formula dasar genre slasher yang familiar namun sudah mulai meredup. Faktanya, kedua genre ini selalu memiliki penggemarnya sendiri, yang saya duga adalah para nerd penyendiri yang umumnya lebih memilih menyewa kaset VHS daripada pergi mengantri di bioskop. Setelah membuat Chopping Mall, Jim Wynorski terus berkarya dengan penuh passion dan tetap konsisten memproduksi film-film sci-fi / komedi horror/ eksploitasi yang jauh lebih murahan dibanding Chopping Mall hingga hari ini. Kalau dihitung, Wynorski sudah membuat lebih dari 100 film dengan judul-judul seperti Dinosaur Island (1994), Komodo vs. Cobra (2005), Dinocroc vs. Supergator (2010), Piranhaconda (2012), CobraGator (2018), hingga yang paling terbaru, DinoGator (2024). Dari keseluruhan filmografinya, tentu saja Chopping Mall menjadi satu-satunya karya Wynorski yang paling dikenal oleh publik yang lebih luas. Melihat konsistensinya dalam membuat film-film eksploitasi murahan sejak tahun 1984, yang artinya ia sudah berkarya selama 40 tahun, menandakan bahwa sutradara seperti Wynorski memang memiliki pasar penontonnya sendiri, yang saya duga adalah juga para penggemar channel Syfy, sebuah kanal film sci-fi / horror / fantasi  yang pernah memproduksi film-film seperti Mega Piranha (2010), Sharknado (2013), Poseidon Rex (2013), hingga Lavalantula (2015).

Plotnya sendiri tidak terlalu penting. Sebuah mall canggih bernama Park Plaza 2000 baru saja merilis sistem keamanan berteknologi tinggi. Salah satunya adalah pintu baja yang akan terkunci rapat secara otomatis mulai tengah malam sampai subuh untuk mencegah para pencuri tidak bisa melarikan diri. Namun teknologi utama keamanan terbaru ini adalah tiga buah robot “satpam” bernama The Protector 101 yang dirancang untuk berpatroli setelah mall tutup dan memiliki kemampuan untuk melumpuhkan para pencuri hingga polisi tiba di lokasi setelah alarm dibunyikan. Untungnya, para robot canggih ini diklaim tidak akan melukai para pekerja mall yang bekerja lembur karena mereka dilengkapi dengan sistem pemindai ID card yang dimiliki oleh semua karyawan mall. Suatu malam, sambaran petir pada komputer pusat mall mengakibatkan malfungsi pada ketiga robot security ini. Sambaran petir ini me-reboot semua robot menjadi mesin pembunuh, dengan program baru yaitu membantai siapapun yang mereka temui di dalam mall yang pintunya telah tertutup rapat, dari mulai petugas keamanan pengendali komputer, petugas kebersihan yang lembur, hingga delapan anak muda karyawan mall yang secara diam-diam sedang mengadakan pesta di salah satu toko furnitur di tengah malam.

Chopping Mall adalah film murahan beraura 80-an yang sangat kuat dengan semua stereotipnya. Ini adalah era di mana para remajanya mengenakan kemeja rapih dan celana bahan sebagai outfit berpesta seakan hendak melamar kerja, lengkap dengan gaya rambut khas 80-annya. Tak hanya pakaian dan gaya rambut, semua dalam film ini memang sangat 80-an, dari mulai soundtrack synthesizer-nya yang brilian, leluconnya, sleazy-nya, action-nya, hingga efek komputer tembakan-tembakan lasernya. Title sequence film ini saja sudah mengingatkan saya pada film-film warkop DKI era 80-an, menampilkan berbagai aktivitas anak-anak muda di dalam mall dengan satu-dua kekonyolannya. Apa yang membuat Chopping Mall berhasil menarik minat para penggemar horor di tahun 80-an selain soal relevansi jaman, adalah karena film ini diisi oleh beberapa aktor yang tidak terlalu asing dalam kultur film horor di tahun 1986, di tengah masa keemasan film horor Amerika. Yang paling utama adalah Barbara Crampton yang kini sudah menjadi legenda ratu horor. Pada saat Chopping Mall dirilis, nama Crampton memang sedang sangat naik daun berkat perannya dalam Re-Animator (1985) satu tahun sebelumnya. Pemeran protagonis utama dalam Chopping Mall, yaitu Kelli Maroney, juga sangat dikenal karena perannya dalam Night of the Comet (1984). Lalu ada juga aktor Russell Todd yang pernah bermain dalam Friday the 13th Part 2 (1981). Chopping Mall juga dihiasi oleh beberapa kameo yang tak asing bagi para penggemar horor. Salah satu yang paling ikonik namun muncul paling singkat dalam Chopping Mall adalah aktor legendaris Angus Scrimm, pemeran karakter seram The Tall Man dari film Phantasm (1979). Dalam Chopping Mall, ia berperan sebagai dokter Carrington, yang referensinya diambil dari nama salah satu ilmuwan dalam film The Thing from Another World (1951). Disebutkannya nama “dokter Carrinton” dalam film ini tentu akan disambut dengan gembira oleh para horror nerd yang peka terhadap easter egg. Sayangnya kemunculan Angus Scrimm mungkin tidak akan disadari karena ia hanya tampil selama beberapa detik saja, dengan wajah yang tidak terlihat, dan nama yang tertulis dalam kredit bukanlah Angus Scrimm melainkan nama aslinya, Lawrence Guy. Kameo lain yang cukup disukai oleh para penonton 80-an adalah munculnya sepasang aktor Mary Woronov dan Paul Bartel, di mana mereka mengulangi peran mereka sebagai karakter suami istri Mary dan Paul Bland dari film dark comedy Eating Raoul (1982), seakan-akan Chopping Mall dan Eating Raoul berada dalam satu universe. Tapi dari semua kameo yang muncul, adalah aktor veteran Dick Miller yang paling menarik perhatian, yang berperan sebagai seorang petugas kebersihan di Mall Park Plaza 2000, korban pertama para robot pembunuh. Pada saat itu nama Dick Miller memang sudah sangat populer di kalangan penggemar horor berkat film-film yang pernah ia bintangi dari mulai A Bucket of Blood (1959), The Little Shop of Horrors (1960), Piranha (1978), The Howling (1981), Gremlins (1984), hingga The Terminator (1984).

Saya menduga diciptakannya konsep robot pembunuh Chopping Mall mungkin saja terinspirasi dari boomingnya film Terminator yang dirilis dua tahun sebelumnya. Tapi yang menarik adalah, Chopping Mall kemungkinan besar menjadi inspirasi bagi lahirnya karakter robot kepolisian ED-209 yang sama-sama berubah menjadi robot pembunuh setelah mengalami malfungsi dalam film Robocop, dirilis satu tahun setelah Chopping Mall. Dilihat dari desainnya, saya bisa katakan dari sudut pandang modern saya bahwa desain robot-robot The Protector 101 ini cukup buruk. Tapi mungkin desain ini relevan pada eranya, dan sedikit mengingatkan kita pada desain-desain droid dari universe-nya Star Wars, lengkap dengan special effect tembakan lasernya, dalam versi bajet yang lebih rendah. Namun dalam konteks film horor, desain robot-robot ini tidak terlihat mengancam sama sekali meskipun ia mampu membunuh dengan berbagai gadget yang ada dalam tubuhnya. Satu-satunya adegan paling memorable dari Chopping Mall mungkin adalah ketika tembakan laser robot pembunuh berhasil menghancurkan kepala salah satu karakter, ala film Scanners (1981). Tapi, sama seperti kemampuan tembak para stormtrooper dalam Star Wars, robot Protector 101 juga lebih sering meleset setiap kali mereka menembakkan laser. Bicara soal kepala pecah, perlu dicatat bahwa pemilihan judul Chopping Mall hanyalah strategi marketing yang sedikit “menipu” calon penontonnya yang berharap ini akan menjadi film slasher penuh adegan gore. Kenyataannya, tidak ada adegan pemotongan (chopping) ataupun kantung belanja berisi potongan kepala seperti yang dijanjikan dalam poster filmnya dalam Chopping Mall. Rasanya hanya ada satu adegan berdarah saja, dan ada lebih banyak action dalam film ini dari mulai tembakan laser, shotgun, senapan, pistol, dan ledakan. Elemen film action mulai muncul sejak para karakter menemukan banyak senjata api dijual di toko olahraga. Film ini juga ditutup dengan adegan ledakan ala film action 80an, yang dalam versi Chopping Mall sama sekali tidak logis karena ledakan itu terjadi tanpa membutuhkan tekanan dan bahan peledak sedikitpun. Namun logika memang perlu dikesampingkan untuk menonton film semacam Chopping Mall.

Secara keseluruhan, Chopping Mall memang konyol, dengan naskah, acting, serta outfit yang buruk. Namun film ini tetap layak untuk ditonton terutama oleh mereka yang menyukai film-film horor kelas B 80-an, yang seringnya justru sangat menghibur karena kekurangannya. Meskipun sama-sama mengeksploitasi ketidakpahaman dasar manusia terhadap teknologi modern seperti yang dilakukan oleh The Matrix dan serial Black Mirror, tapi Chopping Mall bukanlah film yang memiliki pesan mendalam. Jadi, jangan mengharapkan sebuah masterpiece berkesenian tinggi atau plot yang penuh makna. Chopping Mall murni hiburan, dan dalam beberapa bagian memang cukup menyenangkan untuk ditonton karena memiliki semua hal yang kita harapkan dari sebuah film horor 80-an yang cheesy dan sederhana.