MOVIE REVIEW: COBWEB (2023)

COBWEB
Sutradara: Samuel Bodin
USA (2023)

Review oleh Tremor

Cobweb adalah sebuah film horor psikologis / supranatural, debut dari Samuel Bodin yang sebelumnya pernah membuat film-film pendek dan menyutradarai beberapa serial TV. Salah satu karya yang membuat Bodin cukup dikenal sebelum Cobweb adalah serial drama horor Perancis yang dipasarkan oleh Netflix, berjudul Marianne. Sayangnya Marianne hanya bertahan satu season saja sebelum akhirnya dibatalkan oleh Netflix. Dalam Cobweb, Bodin dibantu oleh seorang penulis naskah pendatang baru, Chris Thomas Devlin, yang sebelumnya hanya pernah menulis satu buah naskah film saja, yaitu Texas Chainsaw Massacre 2022.

Peter adalah seorang bocah berumur 8 tahun yang sering mendengar suara-suara dari balik dinding kamarnya setiap kali ia hendak tidur di malam hari. Seperti yang umumnya terjadi dalam kebanyakan film horor, kedua orang tua Peter mencoba menenangkan Peter dan meyakinkannya bahwa suara-suara itu hanyalah imajinasi Peter yang terlalu aktif. Menyadari bahwa kedua orangtuanya tidak akan pernah mempercayainya, Peterpun mau tidak mau harus memberanikan diri untuk terus mendengar suara dari balik dinding. Akhirnya Peter mengenali suara tersebut merupakan suara seorang anak perempuan yang berusaha berkomunikasi dengan Peter untuk meminta pertolongan. Secara perlahan, suara di dinding tersebut akhirnya membawa Peter menemukan satu persatu rahasia gelap tentang keluarganya sendiri.

Perlu diakui bahwa jarang sekali ada hal baru dalam film-film horor, terutama dalam film Amerika bergenre supranatural. Padahal ada begitu banyak potensi dalam subgenre ini. Begitu juga dengan Cobweb yang sayangnya menggunakan banyak elemen horor supranatural klise terutama dalam babak ketiganya. Tapi ada beberapa hal yang saya suka dari film ini. Dua babak pertama dari Cobweb adalah bagian yang menurut saya paling menarik dari keseluruhan film, karena pada babak ini kita dijamu dengan drama psikologis dengan nuansa thriller yang kuat, yang memperlihatkan relasi antara Peter dengan kedua orangtuanya. Dua babak pertama Cobweb juga dilengkapi dengan berbagai foreshadow, red herring, serta petunjuk yang membuat kita menerka-nerka ke mana arah film ini, meskipun pada akhirnya bisa saja mudah diterka oleh mereka yang sudah terlalu sering menonton film horor supranatural Amerika. Menariknya, Cobweb juga membumbui plotnya dengan bumbu subgenre horor lain seperti subgenre home-invasion yang mengingatkan saya pada film-film The Purge, serta elemen subgenre slasher lewat adegan kejar-kejaran di dalam rumah pada babak ketiganya. Adanya unsur-unsur ini membuat Cobweb menjadi lebih menghibur dibandingkan film-film supranatural Amerika pada umumnya.

Bagi saya, kekuatan terbesar Cobweb ada pada pembangunan atmosfer mencekam yang sangat efektif serta sinematografi yang membuat visual film ini begitu enak dilihat berkat permainan bayangan dan cahaya yang baik. Kisah dalam Cobweb terjadi sekitar satu minggu menjelang Halloween, dan film ini tidak menyia-nyiakan penggunaan elemen visual khas halloween. Saya suka sekali melihat tampilan kebun labu milik keluarga Peter meskipun kalau dipikir-pikir memang agak janggal mengapa satu keluarga modern di pemukiman perkotaan memiliki kebun labu yang cukup di halaman rumahnya. Saya juga cukup mengapresiasi kemampuan acting dari para aktor yang memerankan Peter dan kedua orangtuanya. Lalu bagaimana dengan bagian-bagian menyeramkan dalam Cobweb? Tentu saya tidak ingin membeberkan spoiler di sini. Yang saya bisa tulis hanyalah special effect CGI yang digunakan pada desain monsternya tampak terlalu kasar dan lemah, membuatnya tidak tampak semenyeramkan seharusnya.

Sayangnya, bagian terburuk dari Cobweb justru ada pada konfrontasi final, resolusi akhir, serta ending-nya, di mana semuanya terasa sangat terburu-buru, malas, tidak masuk akal dan sangat dipaksakan. Padahal bagi saya babak akhir serta resolusi merupakan bagian terpenting di dalam sebuah film. Bagaimanapun juga, semua kelemahan ini masih bisa dimaklumi mengingat Cobweb barulah karya kedua dari penulis Chris Thomas Devlin yang mungkin sedang dalam proses merintis karir dan menambah pengalaman menulis. Saya juga sangat mengapresiasi pengarahan sutradara Samuel Bodin dalam debutnya ini karena cukup jelas kalau ia sangat berbakat dalam menciptakan ketegangan, dan percobaan pertamanya membuat film fitur ini cukup mengesankan. Jujur saya lumayan menikmati pengalaman menonton Cobweb, kecuali pada bagian akhirnya. Di luar beberapa kekurangannya, Cobweb tetaplah memiliki kisah yang menarik layaknya fairy tale modern yang gelap dan jauh lebih baik dari yang saya harapkan, mungkin karena saya tidak memiliki ekspektasi apapun sebelum menontonnya.