MAY
Sutradara: Lucky McKee
USA (2002)
Review oleh Tremor
May adalah sebuah film drama / horror psikologis, karya debut dari penulis / sutradara Lucky McKee. Film ini merupakan sebuah studi karakter yang mengeksplorasi sisi gelap manusia, sekaligus berisi sedikit satir tentang tema kesempurnaan tubuh dan keterasingan seseorang yang dianggap tidak sempurna di tengah masyarakat. Alur May yang dibuka sebagai film drama ini memang berjalan agak lambat, namun tidak terasa membosankan karena film ini disusun dengan baik dan sepenuhnya digerakkan oleh pengembangan karakter yang menarik. Setelah sukses lewat film May, Lucky McKee kembali membuat film horor dari mulai The Woods (2006), satu episode dalam antologi TV Masters of Horror berjudul Sick Girl (2006), The Woman (2011), All Cheerleaders Die (2013), hingga Old Man (2022). Meskipun tidak berhasil menjadi box office pada saat dirilis, namun May tetap menerima banyak pujian dan ulasan yang baik dari para kritikus hingga memiliki penggemarnya sendiri.
Film ini berfokus pada seorang perempuan eksentrik dan pemalu bernama May yang tidak pernah memiliki teman. Sejak kecil May selalu diabaikan dan di-bully oleh teman-teman sekolahnya karena ia memiliki kondisi mata yang tidak sempurna, yang secara medis disebut lazy eye. Mengetahui putrinya kesulitan untuk berteman, ibu May membuatkannya sebuah boneka yang dinamai Suzy. “Kalau kamu tidak bisa menemukan teman, kamu bisa membuatnya”, pesan ibunya yang akan May ingat di sepanjang hidupnya. Kini May telah dewasa dan menjadi seorang penyendiri karena ia tidak tahu bagaimana caranya berteman. Ia tinggal seorang diri dan bekerja sebagai asisten di sebuah klinik hewan. Ketidakmampuan May untuk terhubung dengan orang-orang di sekitarnya menyulitkan May untuk menemukan teman yang bisa menerima dirinya apa adanya. Di tempat kerjanya, May memang memiliki seorang teman bernama Polly. Tapi satu-satunya teman sejati bagi May hanyalah boneka Suzy buatan ibunya yang masih terus ia simpan dan terkadang ia ajak bicara. Hidup May berubah ketika suatu hari ia melihat seorang laki-laki bernama Adam. May pun jatuh cinta dan secara spesifik sangat tertarik dengan tangan Adam. May yang kini telah sembuh dari kondisi lazy eye-nya mencoba untuk berkenalan dengan Adam dengan berbagai cara-cara yang ia pikirkan sendiri, karena ia tidak tahu bagaimana cara berkenalan dengan wajar. Awalnya semua berjalan dengan baik karena ternyata Adam pun sepertinya menyukai May. Namun May tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika ia mendapat perhatian seperti ini. Ia segera merasa terikat dengan seseorang yang hanya sekedar tertarik padanya. Pada akhirnya Adam melihat banyak hal yang janggal dari perilaku May dan memutuskan untuk meninggalkannya. May yang sebelumnya tidak pernah memahami relasi sosial pun mulai kebingungan secara emosional. Ia tidak tahu bagaimana cara sehat untuk menangani rasa marah atas penolakan dan sakit hati yang ia rasakan. Sisi gelap May pun mulai mengambil alih secara bertahap hingga kisah ini berakhir dengan banyak darah dan potongan tubuh.
Sebagai sebuah film drama horor psikologis, film May dipenuhi dengan metafora visual yang dengan jelas memperlihatkan kondisi mental May yang tidak stabil dan berbahaya. Sejak awal May memang sudah memperlihatkan banyak ciri dasar psikopat. Mungkin ending filmnya tidak akan penuh darah seandainya dia menjalani terapi. Semua ini merupakan dampak panjang dari penolakan dan penghinaan yang kerap May rasakan sejak kecil karena kondisi lazy eye-nya. Masyarakat seakan mengabaikan May karena bagian tubuh tertentu yang tidak sempurna. Akibatnya, saat sudah dewasa dan memberanikan diri untuk bergaul, May juga memandang orang lain dengan cara yang sama seperti ia dipandang dulu: hanya berfokus pada bagian tubuh tertentu tanpa melihat seseorang dengan seutuhnya. Di dalam film, ia kerap memperhatikan dan memuji bagian-bagian tubuh tertentu dari orang-orang di sekitarnya, seperti tangan, leher, dan kaki. Dari yang ia pahami atas perlakuan yang diterimanya sejak kecil, May pikir cara pandang seperti itu adalah hal yang normal.
Sebagai sebuah studi karakter, film ini juga tak kalah efektif. Karakter May adalah seorang perempuan psikopat yang canggung, sangat bermasalah secara emosional, dan rupanya cukup kejam. Namun penulisan Lucky McKee membuat penonton bisa tetap merasakan simpati yang besar pada May. Bahkan ketika May mulai melakukan kekerasan, saya masih merasa iba padanya hingga film ini berakhir, karena kita tahu bahwa May adalah korban dari perilaku masyarakat di masa kecilnya dan itu sangat berdampak pada kesehatan mental May. Saya tidak bisa membenarkan semua kekejaman yang May lakukan, tetapi saya bisa memahami mengapa ia melakukannya, dan saya bersimpati. Karena film May hampir sepenuhnya dimotori oleh pembangunan karakter, maka elemen terbesar yang sangat layak untuk diapresiasi dari film ini adalah kinerja aktris Angela Bettis yang memerankan karakter May dengan sangat baik. Penampilan Bettis berhasil memberi nyawa pada karakter May yang kompleks dengan cukup luar biasa lewat ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya.
Kalau dilihat dari sudut pandang lain, May bisa juga dikategorikan sebagai sebuah kisah balas dendam. Namun balas dendam May bukan berdasarkan atas satu peristiwa saja, melainkan banyak peristiwa di sepanjang hidupnya yang meninggalkan luka pada diri May. Apa yang lebih menyedihkan dari film ini adalah, ketika May akhirnya berhasil melakukan balas dendamnya pada masyarakat di akhir film, itu tetap tidak membuatnya merasa bahagia. Film ini ditutup dengan May menangis tersedu-sedu, karena ia hanya ingin memiliki teman. Satu-satunya hal yang tidak saya suka dari film ini mungkin hanyalah satu scene tidak logis yang melibatkan anak-anak buta dan peti kaca. Namun di luar itu, May tetaplah merupakan film drama horor psikologis yang efekfif, memiliki ide original, sekaligus debut yang dikerjakan dengan baik.