MOVIE REVIEW: STRANGE DARLING (2023)

STRANGE DARLING
Sutradara: JT Mollner
USA (2023)

Review oleh Tremor

Strange Darling adalah sebuah film thriller / horror, karya kedua dari penulis / sutradara JT Mollner yang sebelumnya pernah merilis debutnya Outlaws and Angels (2016). Cukup sulit untuk menulis review film ini, karena sepertinya Strange Darling memang sengaja dirancang untuk memiliki struktur cerita yang “the less you know, the better”. Hampir semua review yang sempat saya baca menyarankan hal serupa: tonton film ini secara buta. Untuk mendapatkan pengalaman menonton sesuai rancangannya, saya sarankan untuk mengabaikan trailer-nya dan hindari membaca apapun soal film ini kalau kalian memang berminat untuk menontonnya, karena salah satu bagian paling memuaskan dari menonton Strange Darling memang terletak dalam setiap lapisan momen-momen pengungkapannya. Untuk alasan itu, saya tidak akan berfokus pada plot maupun karakternya, dan hanya akan berfokus pada elemen-elemen teknisnya saja. Mungkin ada dua hal yang perlu diketahui untuk sekarang. Pertama, kisah dalam Strange Darling melibatkan pembunuh berantai. Ini bukan spoiler, karena film ini memang dibuka dengan teks yang mengklaim bahwa Strange Darling adalah sebuah dramatisasi dari “kisah nyata” tentang aksi seorang pembunuh berantai, yang sedikit mengingatkan saya pada teks pembuka The Texas Chain Saw Massacre (1974). Tapi tentu saja semua yang terjadi dalam Strange Darling adalah fiksi belaka. Yang kedua adalah bagaimana sang raja horor Stephen King memuji Strange Darling sebagai “a clever masterpiece”. Meskipun saya tidak akan menyebut Strange Darling sebagai sebuah “masterpiece”, tapi saya sepakat kalau ini adalah salah satu film yang “clever” dalam membangun ketegangan lewat penyusunan alur.

Film ini dibagi ke dalam enam chapter dan sebuah epilog yang ditampilkan secara non-linear. Setelah dibuka dengan chapter tiga, kemudian kita dibawa ke chapter-chapter lain secara tidak berurutan, namun sangat terencana. Dalam sebuah kencan buta, seorang perempuan bertanya pada laki-laki teman kencannya “apakah anda adalah seorang pembunuh berantai?” Strange Darling kemudian membawa penontonnya ke dalam alur tentang bagaimana sebuah kencan buta berubah menjadi pengalaman thriller roller coaster yang menegangkan. Keputusan penulis JT Mollner untuk membagi cerita ke dalam enam bab yang secara terencana diacak sedemikan rupa adalah pilihan yang cerdik dan memperlihatkan kemampuan menulis yang baik. Menggunakan alur non-linear, satu persatu konteks mulai terungkap dan keseluruhan ceritanya secara perlahan mulai berwujud lewat setiap informasi yang disuguhkan dalam setiap chapter. Mollner sepertinya tahu dampak dari memecah cerita menjadi potongan-potongan tak berurutan akan membuat pengalaman menonton menjadi lebih menarik dan menegangkan, karena mendorong penonton tetap menonton sambil menebak-nebak dan merakit ceritanya di kepala masing-masing. Pendekatan ini bekerja dengan sangat efektif dalam Strange Darling. Saya membayangkan kalau saja Mollner memutuskan menulis alurnya secara normal, tentu pengalaman menonton Strange Darling akan terasa biasa saja. Secara tak terhindarkan, metode bercerita Mollner akan mengingatkan kita pada gaya yang pernah digunakan oleh Tarantino, terutama dalam Pulp Fiction (1994). Memang betul Quentin Tarantino beberapa kali menggunakan alur bercerita non-linear. Tapi kita perlu ingat bahwa gaya tersebut bukanlah secara ekslusif milik Tarantino seorang. Seperti banyak dari kita, penulis/sutradara JT Mollner mungkin sangat menyukai film-film Tarantino serta bagaimana alur non-linear bekerja, dan dia menerapkan metode bercerita yang sama karena tahu betul dampak baiknya untuk cerita yang ia tulis.

Selain alurnya yang menarik, visual Strange Darling juga terlihat sangat bagus. Itu karena keseluruhan film ini direkam menggunakan kamera sinema analog 35mm yang menghasilkan visual indah lengkap dengan warna-warna yang sepertinya tidak akan didapat kalau menggunakan kamera digital. Menariknya, visual indah dalam film ini adalah kerja dari seorang sinematografer pemula. Strange Darling merupakan debut kerja sinematografi layar lebar dari Giovanni Ribisi, yang sebenarnya adalah seorang aktor yang pernah berperan dalam film-film seperti Boiler Room (2000) hingga Avatar (2009). Tidak jarang seorang aktor mencoba bereksperimen menjadi seorang sutradara atau produser. Tapi rasanya tidak banyak yang mencoba sinematografi. Lewat semua grain, warna warni mencolok, pencahayaan yang menghipnotis, dengan berbagai pilihan bidikan dan angle-nya, Giovanni Ribisi langsung membuktikan bahwa ia memang sangat berbakat dalam percobaan pertamanya ini.

Apresiasi tinggi juga perlu ditujukan pada kedua aktor pemeran utama dalam Strange Darling, yaitu Willa Fitzgerald dan Kyle Gallner yang berperan dengan sangat memuaskan dan meyakinkan. Namun rasanya hampir seluruh beban dalam Strange Darling ada di pundak Fitzgerald, karena setiap chapter yang ada mengungkap lebih banyak hal tentang karakter yang ia perankan, dilengkapi dengan berbagai emosi beragam. Secara keseluruhan, Strange Darling adalah sebuah film thriller yang menyenangkan dengan sedikit unsur kekerasan di dalamnya. Sangat saya rekomendasikan bagi para penggemar crime thriller dan horor tentang serial killer. Terlepas dari mudah ditebak atau tidaknya arah film ini, tetap saja tak bisa disangkal bahwa Strange Darling adalah tontonan yang sangat menghibur. Pada saat saya mengetik review ini, Strange Darling telah mengumpulkan rating Popcornmeter sebesar 85% dalam website Rotten Tomatoes. Bagi saya pribadi, semua respon positif tersebut tidaklah berlebihan karena Strange Darling memang layak mendapatkan apresiasi. Rasanya sangat wajar kalau Strange Darling kemudian menjadi salah satu film yang cukup banyak dibicarakan oleh para penggemar thriller / horor dalam beberapa bulan terakhir.