Sekitar dua bulan sebelum pertama kalinya saya melihat flyer No Problem Concert, saya sempat bertemu Vidi dan beberapa teman lainnya di sebuah tempat makan yang acapkali dijadikan venue hiburan malam. Belum genap satu botol bir habis, Ia mulai menyemburkan trivia musikal kacangan, semacam pertanyaan-pertanyaan standar yang dengannya kalian habiskan waktu bolos sekolah. Apa band lokal jagoanmu, siapa pemain band idolamu, apa album musik terbaik versimu, siapa vokalis dengan kemampuan terbaik dalam mengundang keriuhan di sebuah pentas. Lontaran pertanyaan sekaliber nyanyian: “Sedang apa, sedang apa, sedang apa sekarang?” di dalam bis pariwisata dalam perjalan menuju Taman Safari atau Dunia Fantasi. Menggelikan, namun tetap menyenangkan. Sampai pada pertanyaan: Siapa band dengan penampilan live terbaik?
Tanpa ragu saya ucapkan nama Teenage Death Star. Jelas dengan pelafalan yang jauh dari skor terbaik. Kalau saja ada seorang native speaker di sana, Ia pasti akan salah dengar apa yang saya ucapkan, alih-alih telinganya akan menangkap ‘T-net Debt Star’. Mahfum saja.
Tapi sebenarnya cukup aneh juga saya menyebutkan nama band ini, mengingat saya hanya baru menonton mereka dua kali saja. Sedangkan kali pertama menyaksikan penampilan mereka, saya tidak ingat kapan, malahan terkadang saya sangsi pernah melihat mereka sebelum gig di Ciumbuleuit.
Gig Teenage Death Star kedua saya adalah di bilangan Ciumbuleuit, Bandung, sekitar triwulan terakhir tahun 2000-an. Bertempat di sebuah venue yang terletak di bawah tanah, atau lebih tepatnya di sebuah basement, saya bisa katakan kalau penampilan mereka saat itu lebih dari urakan, kata ‘urakan’ tampaknya terlalu mewah dan keren; amburadul, itu lebih representatif. Saya tetiba menjadi kritikus musik di gig itu. Konon katanya alkohol mengeluarkan potensi sensitivitas seseorang terhadap bebunyian kepada tingkatan terbaiknya.
Skill is Dead, begitu slogan mereka. Nada-nada gitar yang terkadang terdengar sumbang dan ketidakberdayaan sang gitaris menala senar-senarnya, bunyi bas yang timbul-tenggelam, vokal yang tidak ambil pusing dengan itu semua dan tetap melancarkan nyanyian demi nyanyian, hanya dentuman permainan dram yang terasa masih pada jalurnya.
Idealnya hal tersebut menjadi masalah, alih-alih saya ikut berkeringat, suara saya turut serak, tubuh saya berserah melakukan apa saja titah mereka dari atas undakan panggung. Mereka mengajak berbuat kekacauan, saya ikuti. Mereka menyuruh berhati-hati dengan barang bawaan, saya waspada. Mereka meminta turut melafalkan lirik-lirik lagu bersama, saya bernyanyi. Mereka bak ahli nujum kelas wahid menghipnotis jemaatnya. Saya sangat menikmati penampilan mereka malam itu. Salah satu gig terbaik yang pernah saya hadiri.
Gig Teenage Death Star saya yang pertama adalah,.. Entahlah, saya tak bisa mengingat-ingatnya. Bahkan terkadang saya sering sangsi pernah menonton mereka sebelum gig Ciumbuleuit.
Sudah dipastikan tak banyak pengalaman saya atas penampilan live mereka, tak masalah, karena saya adalah orang yang mudah jatuh hati. Semudah saya jatuh hati kepada Eva Celia saat pertama kali melihat fotonya terpampang di papan reklame komersial pinggir jalan, semudah itu juga saya jatuh hati pada Teenage Death Star. Kelompok musik ini adalah hal terbaik kedua dari film Janji Joni setelah Mariana Renata.
Di pertengahan bulan Oktober, tanpa sengaja saya melihat flyer yang baru beberapa saat dipublikasikan oleh akun media sosial sebuah record store. Terpampang dengan cueknya foto Sir Dandy tengah memegang mikrofon di atas sebuah panggung dan bertuliskan ‘NO PROBLEM’. Tercetak juga nama pihak pendukung acara. Seketika saya teringat Vidi dan obrolan ngalor-ngidul itu. Saya berbesar rasa, seperti semua semesta sedang berporos kepada saya. Antusias sekali. Saya akan hadiri konser ini.
30 Oktober 2016.
Teenage Death Star – NO PROBLEM Concert, IFI Bandung.
Konser dibuka dengan penampilan Collapse, band pendatang baru asal Bandung. Kepenasaranan orang-orang atas band ini terjawab sudah. Satu aula dibuat terdiam, sekelompok audiens yang siap ugal-ugalan menanti band utama naik panggung dibuat berkontemplasi sejenak. Collapse berhasil membawa semua yang hadir malam itu untuk ikut hanyut ke dalam kegetiran dan kegelesihan yang mereka suguhkan lewat musiknya. Pembukaan yang manis.
Tak lama berselang, pengunjung sudah lebih merapatkan barisan. Di panggung sudah berdiri lima orang penyulut kerusuhan. Riuh rendah suara penonton, sedang di atas panggung Teenage Death Star tengah bersiap. Tak jelas apa yang dipersiapkan mereka selain membetulkan posisi kacamata, merapikan posisi wig dan syal di leher. Karena untuk instrumen tampaknya sudah ada yang mengurusi. Kelima personil sudah terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing.
Lagu pertama berhasil membuat penonton merangsek ke depan panggung. Semuanya meliar. Lagu demi lagu, seisi ruangan ikut bernyanyi. Mikrofon berkali-kali direbut penonton dari tangan Sir Dandy sang vokalis. Kabel berseliweran. Guitar feedback noise di sana-sini.
Saya dapati diri saya di depan panggung ketika intro lagu Teenage Liar terdengar. Saya baru tersadar kalau orang-orang di atas panggung sudah berganti. Via, basis Heals, sudah mengalungkan bas Iyo. Posisi gitar Alvin sudah diokupansi oleh seseorang berjaket kulit. Sebuah tradisi Teenage Death Star untuk mengajak penonton untuk ambil andil memainkan instrumen. Tubuh saya bergerak tak beraturan mengikuti irama musik yang dimainkan. Tak terelakkan, sejurus kemudian saya sudah menaiki undakan panggung.
Beberapa kali saya sempat melakukan crowdsurf saat masih tergabung di sebuah kelompok musik, tapi tidak dengan inisiatif sendiri, antara ada yang sengaja mengangkat atau tanpa intensi terpeleset ke tengah kerumunan penonton.
Malam itu berbeda, saya dalam intensi penuh dengan kontrol otomatis dari musik yang dikeluarkan lewat pengeras suara. Saya sedikit berlari ke tengah panggung, kaki saya tahu apa yang mesti dilakukan, berikutnya saya sudah loncat ke tengah-tengah kerumunan seraya meneriakkan refrain.
“I’m a teenage. Liar!”
Dan begitulah stagedive pertama saya terjadi. Disusul dengan stagedive berikutnya masih di dalam konser musik yang sama. Tak pernah ada kata terlambat untuk melakukannya.
Menakjubkan.
Saya menjadi remaja usia belasan yang sedang dirayakan ulangtahunnya malam itu. Sembilan nomor favorit saya dari album Longway to Nowhere mereka bawakan (meskipun saya tak begitu hapal persis judul-judulnya), bahkan beberapa lagu sampai dua kali dibawakan.
Nada gitar yang keluar nala, suara bas yang entah memang keluar langsung dari petikan dawainya atau mungkin dari rekaman yang diputar sepanjang lagu, suara gitar dua yang kasar dan dentuman snare dram yang memekakkan, kata-kata sompral terdengar di pengeras suara dan lawakan-lawakan klasik.
Skill is (still) Dead, mungkin begitu moto mereka setelah empat belas tahun bermain musik.
Salah satu lagu yang mereka bawakan dua kali adalah ‘21st Century Boy’. Sekaligus nomor jagoan saya. Sebuah teror bagi kisah roman lagu ‘20th Century Boy’. Kalau dianalogikan, lagu T. Rex ibarat seks basis pertama, paling mentok hanya berakhir di makeout, sedangkan lagu Teenage Death Star satu ini adalah seks basis puncak, seks pada kaidahnya, hingga lenguhan orgasme. Teriakan Sir Dandy yang selalu mengingatkan saya pada nada teriakan Joe Strummer di tengah-tengah lagu ‘London Calling’ pada tahun 1979, feedback noise Alvin dengan tradisi Thurston Moore dan Lee Ranaldo di lagu ‘100%’ pada tahun 1992, dan secuil riff gitar Helvi tampak seperti yang terdengar pada lagu Florian Saucer Attack dari band Black Mountain pada tahun 2016 (Ya! 2016! Delapan tahun setelah album Longway to Nowhere dirilis. Kebetulan? Konon gitaris Black Mountain memang menyukai nomor Teenage Death Star ini). Sebuah lagu lintas milenium. Ekstatik!
Konser ditutup dengan penonton dan personil yang jatuh tersungkur di panggung. Liar dan beringas.
Di dalam sebuah artikel berjudul ‘Cold Logic of Drunk People’ disebutkan, “The drunker the subject, the more willing he or she was to kill one hypothetical person for the sake of the hypothetical many.”
Kalau ditafsirkan kurang lebih bunyinya sama dengan slogan Mr. Spock: The needs of the many outweigh the needs of the few.
Penampilan live Teenage Death Star adalah subjeknya. Siap melibas dan memprovokasi siapa saja yang tidak siap ugal-ugalan, semua dilakukan demi terciptanya tatanan keberaturan baru di dalam konser mereka: kekacauan bersama.
***
Words: Syamsurizal S
Photos: Firman Oktaviawan